Sabtu, 17 Desember 2011

Teknologi untuk ABK

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus ditekankan pada penguasaan keterampilan-keterampilan dan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Upaya tersebut sebagai langkah untuk meningkatkan kompetensi anak-anak berkebutuhan khusus untuk bisa mandiri dengan mengembangkan potnesi yang mereka miliki.

Namun, orientasi pembelajaran anak-anak berkebutuhan khusus untuk lebih menguasi keterampilan-keterampilan dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) itu hingga saat ini masih menghadapi kendala. Selain minimnya sarana dan prasarana workshop beragam keterampilan, persoalan yang cukup serius adalah kurangnya guru-guru yang mampu mengajarkan keterampilan-keterampilan yang dikembangkan dalam pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di seluruh Indonesia.

"Pendidikan kita itu di ujungnya atau hasil lulusannya belum memberikan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk hidup atau belum bisa membuat anak mandiri. Karena itu, fokus pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus sejak tahun 2006 mulai diarahkan untuk memperkuat kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan dalam hidup. Sekitar 39 jenis ketrampilan diajarkan dalam pendidikan khusus," kata Eko Djatmiko Sukarso, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas di Jakarta, Jumat (11/12/2009).

Menururt Eko, pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus bukan hanya meliputi penyandang cacat yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah luar biasa. Pendidikan dengan cara yang khusus juga dibutuhkan untuk melayani anak-anak cerdas istimewa/berbakat istimewa, anak-anak tenaga kerja indonesia (TKI) di daerah perbatasan dan luar negeri, anak-anak jalanan, anak-anak di dalam lembaga tahanan masyarakat, anak-anak korban bencana alam, anak-anak yang menderita HIV/AIDS, anak-anak pelacur, anak-anak korban perdagangan orang, hingga anak-anak suku terasing.

"Bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus yang dilayani lewat pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus, perlu dilakukan terobosan-terobosan yang disesuaikan dengan kondisi mereka. Perlu fleksibel untuk melihat kebutuhan pendidikan yang sesuai dengan kondisi mereka. Dengan penguasaan keterampilan dan TIK, anak-anak tersebut diharapkan bisa lebih mandiri," kata Eko.

Dalam peningkatan penguasaan TIK bagi anak-anak berkebutuhan khusus, kata Eko, pihaknya mendapat dukungan dari perusahaan-perusahaan TIK. Salah satunya IBM yang memiliki program memperkenalkan teknologi informasi sejak usia dini.

"Kita harus memberikan kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menguasai TI yang terus berkembang dan dibutuhkan dalam hidup. Bukan saja untuk memudahkan cara belajar, tapi juga untuk membuat anak-abak ini mampu berkompetisi dalam dunia kerja nanti. Perusahaan-perusahan, seperti yang dilakukan IBM, mesti punya kebijakan untuk juga menerima karyawan berkebutuhan khusus," Suryo Suwignjo, Presiden Direktur IBM Indonesia.

Menurur Suryo, dalam pengenalan TI pada anak-anak berkebutuhan khusus, tantangan terbesar adalah menyiapkan para guru. "Kami bukan hanya menyediakan alat-alat TI. Tetapi juga melatih guru dan membutakan kurikulum supaya peralatan TI yang ada di sekolah benar-benar dimanfaatkan optimal," ujar Suryo.

Layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang kompleks dan tersebar luas, menurut Eko,belum bisa maksimal. Masih banyak anak-anak usia sekolah yang belum terlayani. Puluhan ribu anak TKI di Malaysia dan juga Arab Saudi, sebagai contoh, belum mendapat layanan  khusus. Belum lagi anak-anak suku terasing yang memiliki keyakinan budaya tersendiri dalam melayani pendidikan.

Jumat, 11 Desember 2009 | 20:32 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Ester Lince Napitupulu
Amril Muhammad

1 komentar:

  1. saya setuju dengsn pendspst bspsk Eko, pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus bukan hanya meliputi penyandang cacat yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah luar biasa. Pendidikan dengan cara yang khusus juga dibutuhkan untuk melayani anak-anak cerdas istimewa/berbakat istimewa, anak-anak tenaga kerja indonesia (TKI) di daerah perbatasan dan luar negeri, anak-anak jalanan, anak-anak di dalam lembaga tahanan masyarakat, anak-anak korban bencana alam, anak-anak yang menderita HIV/AIDS, anak-anak pelacur, anak-anak korban perdagangan orang, hingga anak-anak suku terasing. tetapi jangan sampai ada pengelompokan didalamnya, misalkan antara anak-anak yang menderita HIV/AIDS dan anak-anak suku terasin dan anak anak yang lain,karena ketika ada pengelompokan diantara mereka kalau menurut saya rasa kekompakannya akan kurang, kerjasama antara anak satu dengan yang lain kurang begitu bagus, dan jiwa mereka pastinya akan terganggu dengan pengelompokan itu.

    BalasHapus